"Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan
masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh. Dan jadikanlah aku
buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian. Dan jadikanlah
aku termasuk orang-orang yang mempusakai surga yang penuh kenikmatan. Dan
ampunilah bapakku, karena sesungguhnya ia adalah termasuk golongan orang-orang
yang sesat. Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan.
(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna. Kecuali
orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat (Qolbun Salim).”
(Q.S.Asy-Syuara ayat 82-89)
Ada suatu wacana pertanyaan yang menarik jika kita simak. Jika kita menemui kondisi seseorang yang telah melakukan banyak dosa, ia telah membunuh, memperkosa, mencuri, mabuk, judi, maksiat, melakukan banyak variasi dosa dengan berbagai arachment nafsu duniawi, lalu ada pertanyaan. Lebih baik mana orang itu dengan anda?
Beberapa kali muatan
pertanyaan tersebut penulis lontarkan ke beberapa teman. Tidak sedikit yang
menjawab lebih baik dirinya urgeing orang yang berdosa tersebut. Sungguh jika
kita merasa lebih baik dengan pendosa tersebut justru kita sedang terjangkit
penyakit. Padahal belum tentu orang tadi lebih buruk dari kita. Bisa jadi besok
beliau taubat lalu meninggal khusnul khotimah, sedangkan kita sebaliknya.
Sungguh ada suatu penyakit
dimana penyakit itu menghantarkan kita kepada kerusakan tauhid. Penyakit ini
sering hinggap dalam hati para ulama, para ahli agama, orang-orang pintar, para
penguasa/pejabat, dan orang ‘alim. Penyakit itu adalah penyakit hati yang
berusaha melawan esensi kita sebagai makhluk. Penyakit itu adalah ujub.
Ibnul Mubarok pernah
berkata, “Perasaan ‘ujub adalah ketika engkau merasa bahwa dirimu memiliki kelebihan
tertentu yang tidak dimiliki oleh orang lain”. Imam Al Ghozali menuturkan, “Perasaan
‘ujub adalah kecintaan seseorang pada suatu karunia dan merasa memilikinya
sendiri, tanpa mengembalikan keutamaannya kepada Alloh .”
Ujub yang bercokol dalam
hati disebabkan berbagai hal. Tingkatan manusia mencapai level tinggi biasanya
lebih rentan untuk terkena penyakit ujub. Pada level atas yang dialami oleh
orang pintar, ulama dan sebagainya tentu lebih banyak mendapat pujian, lebih
dihargai dari orang lain, lebih dianggab berilmu dari orang lain. Kadang saat
tauhid kita melemah hal tersebut menjadi celah hawa nafsu untuk membuat hati berlaku
ujub. Membuat kita merasa bangga diri. Merasa lebih dari orang lain. Sehingga
kita memandang remeh orang lain.
Ujub dekat dengan
kesombongan. Pembanggaan akan diri kita dari orang lain membuat kita merasa
lebih baik merasa lebih pantas, merasa lebih pintar. Jika ini dibiarkan akan
menyebabkan kita terlena pada pembanggaan diri yang mengarah untuk mengambil
selendangnya Allah. Allah berselendangkan kesombongan. Karena hanya Allah lah
yang berhak sombong. Jika jiwa yang ujub mengejar sedikit dunia lalu kita
mendapatkannya, yang terbesit dalam hatinya adalah bahwa prestasi tersebut
berasal darinya, bukan atas kuasa Allah. Jika jiwa yang sombong belajar untuk
ujian lalu kita ujian mendapat nilai memuasakan, yang terbesit dalam hatinya
adalah bahwa prestasi tersebut berasal darinya, bukan dari Allah. Demikian juga
pada harta benda, materi yang kita dapatkan karena ilmu, usaha, dapat juga
mengantarkan kepada kesombongan. Seperti kisah Qorun. “Harta ini aku dapatkan karena ilmuku.”(QS.al-Qashash: 78). Ujub
dan sombong beda-beda tipis. Bahkan meremehkan oranglain termasuk sombong.
Rasulullah SAW bersabda, “Sombong
adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim)
Tentu tidak ada mahluk
apapun yang dapat merebut kepunyaan Allah. Karena hakekatnya semua ilmu, urge,
materi, waktu, jarak, usaha, urge apapun lainnya semuanya kepunyaan Allah Rabb
semesta alam. Namun tidak menutup kemungkinan untuk mahluk mengaku-aku apa yang
dititipkan kepadanya itu miliknya. Itulah sombong. Dan Allah tidak suka pada
orang yang sombong, dan membanggakan diri.
“Dan
janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu
berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman:18)
“Negeri
akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri
dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi
orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Qashash:83)
Ujub dan sombong merupakan
perbuatan yang mengantarkan kepada kerusakan tauhid. Karena keduanya tidak
mengembalikan esensinya kepada Allah. Allah pun tegas dalam hal ini. Seperti
yang disabdakan Rasulullah, “Tidak
masuk urge orang yang di dalam hatinya ada kesombongan meski sebutir atom.”
(HR. Muslim dari Abdullah bin Mas’ud ra). Sentak para sahabat kala mendengar
pernyataan itu takut.
Tawadhu’ Sebuah Benteng
Pertahanan
Sifat ujub dan sombong
membuat hati tak nyaman. Ujub dan sombong tidak mendapat ridho Allah,dan
Allah-lah Maha Menguasai Hati, makanya hati tak tentram. Sungguh ketentraman
itu kita peroleh dari penyadaran segala sesuatu kembali kepada Allah. Kita
lahir karena Allah, mati pun karena Allah. Prof. Zaini Dahlan Sang Guru pun
menasehatkan untuk hiduplah bersama Allah. Indahnya hidup bersama Allah. Hidup
dengan penyadaran kita hanya sebagai ciptaan, sebagai mahluk. Mahluk yang taat
berbuat dan menempatkan posisinya sebagai mahluk, yakni beribadah kepada Allah.
Sehingga dalam kehidupan ini, sedetik pun yang kita alami tidak urg lepas
dari Allah. Maka kita tidak boleh lepas dari beribadah kepada Allah. Dalam
mengarungi samudra kehidupan itu maka penyadaran mahluk ini akan benar-benar
tumbuh saat hati kita sadar esensi dari mahluk, yakni untuk merendahkan dirinya
kepada penciptanya. Itulah tawadhu’.
Ibnu Taimiyah, seorang
ahli dalam madzhab Hambali menerangkan dalam kitabnya, Madarijus Salikin bahwa
tawadhu ialah menunaikan segala yang haq dengan bersungguh-sungguh, taat
menghambakan diri kepada Allah sehingga benar-benar hamba Allah, (bukan hamba
orang banyak, bukan hamba hawa nafsu dan bukan karena pengaruh siapa pun) dan
tanpa menganggap dirinya tinggi.
Sungguh banyak
pembelajaran-pembelajaran dari sirah nabi, shahabat, dan para ulama. Nabi
Salallahu’alaihiwasalam menjukkan ketawadhu’an yang luar biasa. Beliau tidak
hanya tawadhu’ kepada Allah tapi juga kepada mahluk, walaupun anak kecil. Anas
ra jika bertemu dengan anak-anak kecil maka selalu mengucapkan salam pada
mereka, ketika ditanya mengapa ia lakukan hal tersebut ia menjawab: Aku melihat
kekasihku Nabi SAW senantiasa berbuat demikian. (HR Bukhari, Fathul
Bari’-6247).
Demikian juga kita dapat
belajar dari ulama-ulama. Ada salah satu wasiat dari ulama yang dikenal
ketawadhu’annya Syeikh Abdul-Qadir al-Jailani. “Apabila kamu melihat dunia berada di tangan pemiliknya dengan segala
perhiasan, kebatilan, tipu daya, tempat pencariannya, dan racunnya yang sangat
mematikan, disertai dengan lembutnya sentuhan lahirnya, tersembunyi batinnya,
cepatnya dalam merusak sesuatu, cepatnya dalam membunuh orang yang. Mencoba
untuk menyentuhnya, lalu dia tertipu dan terlalaikan dengan dunia tersebut dari
sang pemiliknya dan merusak janjinya, maka jadilah kamu itu seperti orang yang
melihat aurat orang lain yang sedang buang hajat di padang dan mencium baunya
yang tidak sedap.(Futuhul Ghaib)
Jika engkau bertemu dengan
seseorang, maka yakinilah bahwa dia lebih baik darimu. Ucapkan dalam hatimu : “Bisa
jadi kedudukannya di sisi Allah swt jauh lebih baik dan lebih tinggi dariku”
jika bertemu anak kecil, maka ucapkanlah ( dalam hatimu ) : “Anak ini belum
bermaksiat kepada Allah swt, sedangkan diriku telah banyak bermaksiat
kepada-Nya. Tentu anak ini jauh lebih baik dariku.” Jika bertemu orang tua,
maka ucapkanlah ( dalam hatimu ) : “Dia telah beribadah kepada Allah swt jauh
lebih lama dariku, tentu dia lebih baik dariku.” Jika bertemu dengan seorang
yang berilmu, maka ucapkanlah ( dalam hatimu ) : “Orang ini memperoleh karunia
yang tidak akan kuperoleh, mencapai kedudukan yang tidak akan pernah kucapai,
mengetahui apa yang tidak kuketahui dan dia mengamalkan ilmunya, tentu dia
lebih baik dariku.” Jika bertemu dengan seorang yang bodoh, maka katakanlah (
dalam hatimu ) : “Orang ini bermaksiat kepada Allah swt karena dia bodoh (
tidak tahu ), sedangkan aku bermaksiat kepada-Nya padahal aku mengetahui
akibatnya. Dan aku tidak tahu bagaimana akhir umurku dan umurnya kelak. Dia
tentu lebih baik dariku.” Jika bertemu dengan orang kafir, maka katakanlah (
dalam hatimu ) : “Aku tidak tahu bagaimana keadaannya kelak, urg jadi di akhir
usianya dia memeluk agama islam dan beramal saleh. Dan urg jadi di akhir usia,
diriku kufur dan berbuat buruk.”
Tawadhu’ adalah benteng
dari ujub dan sombong. Tawadhu’ mengantarkan hati tenang karena mencapai fitrah
hati yang sebenarnya. Hati yang tunduk kepada Allah. Itulah hati yang selamat.
Qolbun salim.
Doa Nabi Ibrahim
“Ya
Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan
orang-orang yang saleh. Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi
orang-orang (yang datang) kemudian. Dan jadikanlah aku termasuk orang-orang
yang mempusakai surga yang penuh kenikmatan. Dan ampunilah bapakku, karena
sesungguhnya ia adalah termasuk golongan orang-orang yang sesat. Dan janganlah
Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan. (Yaitu) di hari harta dan
anak-anak laki-laki tidak berguna. Kecuali orang-orang yang menghadap Allah
dengan hati yang selamat (Qolbun Salim).”
(QS.Asy-Syuara ayat 82-89)
Wallahua’lam.
Ahmad
Safarudin
Mahasiswa
Ilmu Kimia 2010
Divisi
Sistem Informasi dan Produksi TMUA-UII
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !