Seputar
Pertanyaan Tentang Tahiyatul Masjid
- Apakah dua raka’at shalat Dhuha bisa digabungkan dengan shalat sunnah tahiyatul masjid..?
Jawaban :
Misalnya seseorang masuk masjid pada waktu Dhuha, lalu ia berniat
melaksanakan shalat Dhuha, maka shalat tahiyatul masjid sudah termasuk di
dalamnya. Begitu pula ketika masuk, lalu ia laksanakan shalat rawatib, maka
shalat tahiyatul masjid juga sudah termasuk di dalamnya. Misalnya, seseorang
melaksanakan shalat rawatib qobliyah shubuh atau rawatib qobliyah zhuhur, maka
shalat tahiyatul masjid pun tercakup di dalamnya. Akan tetapi sebaliknya,
shalat tahiyatul masjid tidak bisa mencukupi shalat rawatib. Seandainya
seseorang masuk masjid setelah dikumandangkan adzan zhuhur, lalu ia berniat
laksanakan shalat tahiyatul masjid, maka ini tidak bisa mencakup shalat
rawatib.
Kesimpulannya karena memang dalam hadits yang membicarakan shalat
sunnah tahiyatul masjid, sifatnya umum. Asalkan mengerjakan shalat sunnah dua
raka’at apa saja, termasuk shalat sunnah rawatib dua raka’at, maka sudah
dianggap mendapatkan keutamaan shalat tahiyatul masjid. Lihat saja bagaimana
redaksional haditsnya,
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ
فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ
“Jika salah seorang di antara kalian memasuki
masjid, hendaklah ia kerjakan shalat dua raka’at sebelum ia duduk.”
(HR. Bukhari no. 444 dan Muslim no. 714)
2.
Bolehkah
mengerjakan shalat tahiyatul masjid di saat muadzin mengumandangkan adzan ....?
Jawaban:
Jika seseorang memasuki masjid dan muadzin sedang mengumandangkan
adzan, maka ia punya pilihan. Ia bolah saja melaksanakan shalat tahiyyatul
masjid ketika dikumandangkan adzan atau ia boleh pula menjawab adzan terlebih
dahulu. Namun yang afdhol adalah menjawab adzan kemudian ia shalat. Hal ini
dilakukan supaya ia bisa mengerjakan dua ibadah (yaitu menjawab adzan terlebih
dahulu, baru melakukan shalat sunnah tahiyyatul masjid, pen) dan ini berarti ia
mengumpulkan dua pahala sekaligus.
- Apa hukumnya sholat tahyatul masjid selagi khotib membacakan khutbahnya, bukankan sholat jum'at itu terdiri dari 2 hotbah dan 2 rekaat sholat ,,,?
Mari kita cermati bagaimana hukumnya Imam Muslim
meriwayatkan bahwa Sulaik Al Ghathafani datang pada hari Jum'at, sementara
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sedang berkhutbah, ia pun duduk, maka
beliau pun bertanya padanya: "Wahai Sulaik, bangun dan shalatlah dua
raka'at, kerjakanlah dengan ringan." Kemudian beliau bersabda: "Jika
salah seorang dari kalian datang pada hari Jum'at, sedangkan Imam sedang berkhutbah,
maka hendaklah ia shalat dua raka'at dengan ringan." Terdapat beberapa
riwayat dalam hal ini.
Imam
Nawawi mengatakan didalam “Syarh Muslim” (6/164) : Hadits-hadits ini seluruhnya
sangat jelas menjadi dalil bagi madzhab Syafi’i, Ahmad, Ishaq dan para fuqaha
ahli hadits bahwa jika seseorang memasuki suatu masjid jami pada hari jum’at
sedangkan imam sedangkan berkhutbah maka dianjurkan untuk melaksanakan dua
rakaat shalat tahiyat masjid dan dimakruhkan untuk segera duduk sebelum
melaksanakan shalat dua rakaat tersebut. Dianjurkan pula untuk meringankan
kedua rakaat tersebut agar dapat mendengarkan khutbah setelahnya, pendapat ini
juga berasal dari Hasan Bashri dan selainnya dari para ulama terdahulu.
Al
Qodhi mengatakan,”Malik, Laits, Abu Hanifah, Tsauriy dan jumhur salaf dari
kalangan sahabat dan tabi’in mengatakan,’Tidak perlu melaksanakan shalat dua
rakaat.” Demikian diriwayatkan dari Umar, Utsman dan Ali ra. Argumentasi mereka
adalah perintah untuk mendengarkan imam. Mereka menta’wilkan hadits-hadits ini
bahwa dia—yaitu Sulaik—dalam keadaan tidak berpakaian lalu Nabi shallallahu
'alaihi wasallam memerintahkannya untuk berdiri agar orang-orang melihatnya dan
memberikan sedekah mereka kepadanya. Ini adalah takwil batil yang dibantah oleh
kejelasan sabdanya shallallahu 'alaihi wasallam,” Jika salah seorang dari
kalian datang pada hari Jum'at, sedangkan Imam sedang berkhutbah, maka
hendaklah ia shalat dua raka'at dengan ringan.” Ini adalah nash yang tidak
membutuhkan takwil apa pun karena ia bersifat umum dan tidak hanya dikhususkan
bagi Sulaik saja dan aku tidak yakin ada seorang alim yang sampai kepadanya
lafazh yang shahih ini lalu menentangnya.
Kemudian
Nawawi mengatakan,”Didalam hadits-hadits ini juga dibolehkan berbicara disaat
khutbah jika hal itu dibutuhkan, dalam hal ini dibolehkan bagi khotib dan yang
lainnya, didalamnya terdapat seruan kepada kebaikan dan anjuran untuk
kemaslahatan didalam setiap keadaan dan tempat, didalamnya disebutkan shalat
tahiyat masjid adalah dua rakaat, dan shalat-shalat sunnah di siang hari adalah
dua rakaat dan shalat tahiyat masjid tidaklah hilang dikarenakan duduk bagi
orang yang tidak mengetahui hukumnya.
Para
sahabat kami—madzhab Syafi’i—hilangnya tahiyat masjid dengan duduk adalah
terhadap orang yang mengetahui bahwa ia adalah sunnah sedangkan terhadap orang
yang jahil (tidak mengetahui) maka hendaklah dia mengerjakannya berdasarkan
kedekatan hadits ini.
Dari
hadits-hadits ini bisa didapat bahwa tahiyat masjid tidak ditinggalkan pada
waktu-waktu yang dilarang shalat didalamnya karena ia termasuk shalat yang
memiliki sebab yang dibolehkan di setiap waktu, dari sini maka hal demikian
juga berlaku bagi setiap shalat yang memiliki sebab, seperti : mengqodho
shalat. Seandainya shalat itu hilang dalam suatu keadaan maka keadaan seperti
ini lebih utama lagi dimana dia diperintahkan untuk mendengarkan khutbah.
Tatkala
orang itu dibiarkan mendengarkan khutbah lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
memutus khutbahnya dan memerintahkan orang itu setelah dia duduk agar
melaksanakannya (shalat tahiat masjid) dan duduknya orang itu adalah duduk
orang yang tidak mengetahui hukumnya. Ini adalah dalil yang menguatkan bahwa
shalat tahiyat masjid tidaklah ditinggalkan dalam keadaan apa pun dan pada
waktu apa pun.”
Para
ulama baik klasik maupun kontemporer telah membahas tentang tema ini. Dan kita
telah mengetahui dari pembahasan diatas bahwa hal ini termasuk permasalahan
khilafiyah. Sehingga tidak seharusnya fanatik dengan satu pendapat yang masih
diperselisihkan. Barangsiapa yang melaksanakan shalat tahiyat masjid sebelum
dirinya duduk sedangkan imam dalam keadaan berkhutbah maka ia tidaklah berdosa,
demikian barangsiapa yang masuk masjid lalu duduk dan tidak melaksanakan shalat
tahiyat masjid maka ia juga tidak berdosa dan barangsiapa yang duduk tidak
melaksanakan shalat kemudian dia bangun lalu melaksanakan shalat tahiyat masjid
disaat imam berkhutbah diakarenakan dia termasuk orang yang tidak mengetahuinya
tentang itu maka hendaklah diberitahu dengan penuh kelembutan tidak dengan
kekerasan. (Fatawa al Azhar juz VIII hal 496)
Pelaksanaan
shalat jum’at terdiri dari dua khutbah dan dua rakaat shalat. Pelaksanaan dua
khutbah dalam shalat jum’at didasari pada kebiasaan Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam, demikian menurut pendapat para ulama madzhab Maliki, Syafi’i
dan Hambali.
Pertanyaan dijawab oleh:
Ustadz Sigit Pranowo, Lc. al-Hafidz
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !