Setelah menyebutkan cirri-ciri golongan orang munafik pada ayat 8-16 secara rinci, maka pada bagian kedua yakni ayat 17-20 ini Allah menerangkannya dengan menggunakan perumpamaan (tamtsil). Kenapa harus menggunakan perumpamaan? Karena inilah salah satu keistimewaan Al-Qur’an dalam menjelaskan suatu perkara. Perumpamaan itu diperlukan un tuk menerangkan suatu hal yang samar dan juga agar dapat lebih diterima oleh akal manusia.
Ayat 17
“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat.”
Orang-orang munafik itu bagaikan orang yang menghidupkan api yang dapat menerangi daerah di sekitarnya kemudian Allah mematikan api tersebut sehingga kegelapan kembali menyelimuti area tersebut. Rentang waktu diantara saat menyalakan dan saat dimatikan oleh Allah itu hanya sekejap saja. Belum sempat mereka merasakan dan menikmati cahaya (hidayah), mereka belum sempat mendapatkan manfaat dari cahaya tersebut, kemudian mereka telah kehilangan cahayanya, sehingga kembalilah mereka dalam kegelapan.
Di sini memakai redaksi (dhulumaat) yakni jamak mu’annas salim (kata jamak), yang menunjukkan bahwa kegelapan itu sungguh kegelapan di atas kegelapan, kegelapan yang sangat atau kegelapan yang berlapis-lapis. Sehingga mereka tidak akan bisa melihat kebenaran baik dengan mata ataupun dengan mata hati (hati nurani) mereka. Mereka dapat melihat kebenaran tapi tidak mau mengikutinya.
Ini mengindikasikan bahwa saat mereka menyalakan adalah perumpamaan hidayah yang mereka rasakan hanya ada di dunia saja, berupa pengakuan bahwa mereka menyandang gelar sebagai umat islam. Dengan kemunafikannya itu seakan-akan berhak mendapat penerangan hidayah dari kepalsuan imannya. Jadi mereka bias ada disekitar kita, shalat berjamaah, puasa, dan ibadah lainnya tetapi karena iman mereka yang palsu, semua ibadah itu tidak bernilai bagi mereka. Balasan dari ibadah mereka itu hanya akan mereka rasakan di dunia saja. Dan apakah mereka bias menemukan kebenaran kembali? Jawabannya ada pada ayat selanjutnya.
Ayat 18
“Mereka tuli, bisu dan buta, Maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar).”
Perumpamaan dari kedok keimanan dari orang-orang munafik itu dijelaskan dengan keadaan tuli, bisu dan buta. Mereka memiliki telinga, mereka juga dapat mendengar. Tetapi dengan pendengaran mereka tidak dapat mendengarkan hal-hal yang baik, enggan menerima nasehat-nasehat yang baik, ayat-ayat dari Allah juga tidak mereka indahkan, maka sama saja mereka dengan orang yang tuli.
Kemudian mereka juga memiliki mulut dan lisan, mereka juga dapat berbicara, tetapi mereka juga tidak pernah berbicara hal-hal yang baik, tidak mampu menyampaikan kebenaran yang telah mereka dapatkan, senang melecehkan dan tetap saja yang keluar dari lisan mereka adalah hal-hal yang buruk. Maka jika sudah demikian, maka sama saja mereka dengan orang yang bisu, atau bahkan orang bisu lebih baik dari mereka. Satu hal lagi yakni mereka diperumpamakan dengan orang yang buta. Memiliki mata, tapi tidak dapat melihat kebenaran yang jelas ada di depannya. Maka sama saja mereka dengan orang buta.
Jika sudah demikian, memiliki telingan tapi tidak dapat mendengar, memiliki lisan tapi tidak bias berkata yang baik dan memiliki mata tapi tidak menggunakan matanya untuk melihat kebenaran, maka bisa dipastikan mereka akan sulit untuk kembali kepada kebenaran. Akan sangat berat untuk mendapati mereka kembali kedalam kebenaran.
Ayat 19
“ Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan jari jemarinya, Karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati dan Allah meliputi orang-orang yang kafir.”
Keadaan orang-orang munafik itu, ketika mendengar ayat-ayat yang mengandung peringatan, adalah seperti orang yang ditimpa hujan lebat dan petir. Mereka menyumbat telinganya karena tidak sanggup mendengar peringatan-peringatan Al Quran itu. Hingga mereka diliputi rasa takut atas kematian.
Banyak ulama ahli tafsir yang mengartikan hujan tersebut adalah sebagai Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an dapat berfungsi seperti hujan yang dapat menumbuhkan hal-hal yang baik. Sehingga karena orang-orang munafik itu berada di sekitar orang-orang yang beriman, maka Al-Qur’an selalu berada di sekitar mereka.
Tetapi yang terjadi malah sebaliknya, Al-Qur’an yang seharusnya dapat menjadi penerang dan penyejuk, membawa rahmat dan hidayah, ternyata seakan-akan menjadi hujan lebat yang menyebabkan keadaan menjadi gelap gulita, diliputi guruh dan juga kilat. Bukannya mendapat kedamaian dan ketentraman hati, justru malah hati mereka yang menjadi sakit.
Bagaimanapun keadaannya, Allah itu melebihi segalanya. Allah Yang Maha Tahu dan Maha segalanya lebih tahu dari siapapun, termasuk orang-orang kafir. Siapa orang kafir pada ayat ini/ yakni orang-orang munafik yang berkedok islam, menyembunyikan kekafirannya dalam bungkus islam.
Ayat 20
“ Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.
Perumpamaan terakhir adalah dengan adanya kilat yang menyambar-nyambar hingga sampai kepada pelupuk mata mereka. Disini jika mereka berada pada cahaya iman dan islam, maka mereka juga akan mendapat cahaya tersebut, mereka juga ikut dalam cahaya itu. Dan jika mereka kembali pada kesesatannya, maka mereka juga kembali kepada kegelapan. Mereka berhenti.
Meskipun berada di sekitar orang-orang beriman, selalu mendengar ayat-ayat Al-qur’an dibacakan, mereka tidak bisa mendapat manfaat kecuali sedikit. Kenapa demikian? Karena Allah melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Allah lah Dzat Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Wallahu a’lam. (qaaf)
Kajian Tafsir Al-Qur'an oleh Ustad Supriyanto Pasir, S.Ag, M.Ag.
Rabu 11 Februari 2009 pukul 18.00
Ayat 17
“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat.”
Orang-orang munafik itu bagaikan orang yang menghidupkan api yang dapat menerangi daerah di sekitarnya kemudian Allah mematikan api tersebut sehingga kegelapan kembali menyelimuti area tersebut. Rentang waktu diantara saat menyalakan dan saat dimatikan oleh Allah itu hanya sekejap saja. Belum sempat mereka merasakan dan menikmati cahaya (hidayah), mereka belum sempat mendapatkan manfaat dari cahaya tersebut, kemudian mereka telah kehilangan cahayanya, sehingga kembalilah mereka dalam kegelapan.
Di sini memakai redaksi (dhulumaat) yakni jamak mu’annas salim (kata jamak), yang menunjukkan bahwa kegelapan itu sungguh kegelapan di atas kegelapan, kegelapan yang sangat atau kegelapan yang berlapis-lapis. Sehingga mereka tidak akan bisa melihat kebenaran baik dengan mata ataupun dengan mata hati (hati nurani) mereka. Mereka dapat melihat kebenaran tapi tidak mau mengikutinya.
Ini mengindikasikan bahwa saat mereka menyalakan adalah perumpamaan hidayah yang mereka rasakan hanya ada di dunia saja, berupa pengakuan bahwa mereka menyandang gelar sebagai umat islam. Dengan kemunafikannya itu seakan-akan berhak mendapat penerangan hidayah dari kepalsuan imannya. Jadi mereka bias ada disekitar kita, shalat berjamaah, puasa, dan ibadah lainnya tetapi karena iman mereka yang palsu, semua ibadah itu tidak bernilai bagi mereka. Balasan dari ibadah mereka itu hanya akan mereka rasakan di dunia saja. Dan apakah mereka bias menemukan kebenaran kembali? Jawabannya ada pada ayat selanjutnya.
Ayat 18
“Mereka tuli, bisu dan buta, Maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar).”
Perumpamaan dari kedok keimanan dari orang-orang munafik itu dijelaskan dengan keadaan tuli, bisu dan buta. Mereka memiliki telinga, mereka juga dapat mendengar. Tetapi dengan pendengaran mereka tidak dapat mendengarkan hal-hal yang baik, enggan menerima nasehat-nasehat yang baik, ayat-ayat dari Allah juga tidak mereka indahkan, maka sama saja mereka dengan orang yang tuli.
Kemudian mereka juga memiliki mulut dan lisan, mereka juga dapat berbicara, tetapi mereka juga tidak pernah berbicara hal-hal yang baik, tidak mampu menyampaikan kebenaran yang telah mereka dapatkan, senang melecehkan dan tetap saja yang keluar dari lisan mereka adalah hal-hal yang buruk. Maka jika sudah demikian, maka sama saja mereka dengan orang yang bisu, atau bahkan orang bisu lebih baik dari mereka. Satu hal lagi yakni mereka diperumpamakan dengan orang yang buta. Memiliki mata, tapi tidak dapat melihat kebenaran yang jelas ada di depannya. Maka sama saja mereka dengan orang buta.
Jika sudah demikian, memiliki telingan tapi tidak dapat mendengar, memiliki lisan tapi tidak bias berkata yang baik dan memiliki mata tapi tidak menggunakan matanya untuk melihat kebenaran, maka bisa dipastikan mereka akan sulit untuk kembali kepada kebenaran. Akan sangat berat untuk mendapati mereka kembali kedalam kebenaran.
Ayat 19
“ Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan jari jemarinya, Karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati dan Allah meliputi orang-orang yang kafir.”
Keadaan orang-orang munafik itu, ketika mendengar ayat-ayat yang mengandung peringatan, adalah seperti orang yang ditimpa hujan lebat dan petir. Mereka menyumbat telinganya karena tidak sanggup mendengar peringatan-peringatan Al Quran itu. Hingga mereka diliputi rasa takut atas kematian.
Banyak ulama ahli tafsir yang mengartikan hujan tersebut adalah sebagai Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an dapat berfungsi seperti hujan yang dapat menumbuhkan hal-hal yang baik. Sehingga karena orang-orang munafik itu berada di sekitar orang-orang yang beriman, maka Al-Qur’an selalu berada di sekitar mereka.
Tetapi yang terjadi malah sebaliknya, Al-Qur’an yang seharusnya dapat menjadi penerang dan penyejuk, membawa rahmat dan hidayah, ternyata seakan-akan menjadi hujan lebat yang menyebabkan keadaan menjadi gelap gulita, diliputi guruh dan juga kilat. Bukannya mendapat kedamaian dan ketentraman hati, justru malah hati mereka yang menjadi sakit.
Bagaimanapun keadaannya, Allah itu melebihi segalanya. Allah Yang Maha Tahu dan Maha segalanya lebih tahu dari siapapun, termasuk orang-orang kafir. Siapa orang kafir pada ayat ini/ yakni orang-orang munafik yang berkedok islam, menyembunyikan kekafirannya dalam bungkus islam.
Ayat 20
“ Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.
Perumpamaan terakhir adalah dengan adanya kilat yang menyambar-nyambar hingga sampai kepada pelupuk mata mereka. Disini jika mereka berada pada cahaya iman dan islam, maka mereka juga akan mendapat cahaya tersebut, mereka juga ikut dalam cahaya itu. Dan jika mereka kembali pada kesesatannya, maka mereka juga kembali kepada kegelapan. Mereka berhenti.
Meskipun berada di sekitar orang-orang beriman, selalu mendengar ayat-ayat Al-qur’an dibacakan, mereka tidak bisa mendapat manfaat kecuali sedikit. Kenapa demikian? Karena Allah melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Allah lah Dzat Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Wallahu a’lam. (qaaf)
Kajian Tafsir Al-Qur'an oleh Ustad Supriyanto Pasir, S.Ag, M.Ag.
Rabu 11 Februari 2009 pukul 18.00
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !